Psikologi Manusia : Dari Perasaan hingga Akal

Psikologi Manusia : Dari Perasaan hingga Akal


Sahabat Medan Dakwah, sesungguhnya artikel ini berjudul semua Jangan Main perasaan saja. Yang ditulis oleh Sahabat kita Widhy Lutfi, tapi karena untuk kepentingan standarisasi blog Medan Dakwah, artikel ini kami ramu kembali dengan judul baru yakni Psikologi Manusia, dari Perasaan hingga Akal. Kita tidak mengubah substansi dari artikel ini. Semoga dapat bermanfaat. 


Hakekat Hidup di tinjau dari Psikologi Perasaan

Sobat, mau nggak mau memahami hakikat hidup dan kehidupan adalah  bagian dari proses pendewasaan kita. Biar kata kita menolak mentah-mentah untuk berpikir lebih dalam tentang hidup, kenyataannya kehidupan akan terus kita jalani.

 Akibatnya bakal berabe kalau kita tetap ngotot nggak mau mikirin tentang hakikat hidup. Kita akan mudah terombang ambing layaknya sebuah layang-layang putus ngikuti kemana aja angin berhembus. Makanya, untuk menjawab pertanyaan mendasar tentang kehidupan dan hakikat jati diri, kita nggak boleh serampangan aja. Apalagi cuma ngandelin perasaan. Bahaya sobat!

Ketika kita melototin rekaman dahsyatnya tragedi tsunami yang meluluhlantakkan negeri Serambi Mekah atau gempa bumi yang mengguncang Jogja dan Padang, berdesir perasaan kasihan, takut, sedih, yang semuanya campur jadi satu.

Ya, secara manusiawi perasaan kita bilang bahwa ada sesuatu yang mengatur kedahsyatan di balik peristiwa itu semua. Sesuatu yang punya kelebihan dalam semua hal dibanding manusia, alam semesta, dan semua yang ada di muka bumi. Sesuatu itu adalah Dzat yang Maha dalam semua hal, Allah Swt.

Saking sensitifnya nih perasaan jangan sampai deh dibiarkan bergerak liar. Tapi harus diatur, ditata dan dibatasi pergerakannya dalam mencari siapa Tuhan sesungguhnya. Peranannya hanya cukup untuk menangkap fenomena atau kejadian di alam, kehidupan dan tubuh manusia. Karena kecenderungan perasaan yang keliru, memicu munculnya praktek perdukunan, tahayul atau berhala seperti kejadian di masa jahiliyah dulu.

Ditengah-tengah kita, sering kedapetan malpraktek terkait pengkultusan terhadap sesuatu yang sejatinya hanya ditujukan pada al-Khalik. Ada yang merasa bahwa dengan memasang tasbih di mobilnya dia akan selamat dari kecelakaan lalu lintas. Dengan menciumi Al-Qur’an berarti dia sudah merasa menerapkan isinya.

Atau memberikan sesajen pada saat ada hajatan seakan-akan itu pertanda syukur kepada Allah Swt. Padahal itu sebenarnya adalah praktek syirik atau kufarat, maksud hati mengesakan Allah, tapi malah menyekutukannya. Makanya sobat, perasaan nggak boleh mendominasi dalam proses pencarian Tuhan ini. Dia harus dipandu dengan proses berpikir yang jernih biar nggak nyasar.

Islam sendiri ngajarin bahwa untuk mencari siapa Tuhan kita, nggak boleh menyerahkan sepenuhnya kepada hati atau perasaan. Manusia oleh Allah di kasih anugerah berupa akal untuk berpikir. Disinilah yang membedakan kita dengan makhluk Allah yang lain, seperti binatang atau tumbuhan. So pasti, dengan anugerah akal itu pula kita bisa dibimbing mencari siapa Tuhan atau Sang Khalik yang kudu disembah.

Dan bener banget kalau akal bisa memandu kita untuk nunjukin tentang siapa Tuhan yang sesungguhnya dari hasil ciptaan-Nya. Tapi jangan lupa sobat, kita musti ingat kalau akal alias proses berpikir itu prosesnya berlangsung di dalam organ tubuh kita yang terbatas. 

Seperti halnya mata kita yang terbatas , nggak mampu melihat dengan jelas kalau sudah melewati batas jarak pandang. Dari bumi, bulan yang kita lihat sangat indah, ternyata aslinya banyak jerawat alias berlubang-lubang. Kita lahir tanggal sekian, bulan ini, tahun itu pasti suatu saat akan dibatasi dengan usia. Nah begitu juga proses berpikir yang terjadi dalam otak yang terbatas, maka dengan sendirinya akal kita punya kemampuan terbatas juga.

Akal kita nggak bakalan mampu menemukan hakikat dzat dari Sang Pencipta yang ghaib alias tidak terjangkau oleh otak dan panca indera. Peran otak cuma mengantarkan tentang keyakinan bahwa Tuhan itu pasti adanya (wajibul wujud), tak terbilang dan juga nggak ada awalnya dan akhirnya alias azali.

 Otak atau akal bisa mengindera dengan jelas keteraturan, kedahsyatan, keindahan alam ini semua ada sesuatu di balik itu. Gampangnya kalau ada pisang goreng yang bikin kita ngiler untuk mencicipi, pasti pisang goreng itu ada yang bikin. Demikian dengan adanya alam ini, kehidupan yang kita alami dan juga diri kita sendiri sebagai manusia, mustahil kalau ini semua ada dengan sendirinya, pasti ada yang menciptakan.

Nggak berhenti cuma di situ. Otak juga bakal mengantarkan tentang Tuhan itu musti gimana, apa dia diciptakan oleh yang lain, atau dia menciptakan dirinya sendiri atau memang dia harus mempunyai sifat wajibbul wujud (wajib adanya). Sebab seperti yang telah kita singgung-singgung tadi, bahwa nggak mungkin Tuhan itu diciptakan oleh yang lain, kayak pisang goreng yang dibikin oleh emak kita, kalau kita makan pisang goreng itu maka hilanglah Tuhan itu. Kalau seperti itu berarti Tuhan terbatas.

=

Nggak mungkin juga kalau Tuhan itu menciptakan dirinya sendiri. Kalau kayak gitu, itu artinya satu sisi dia sebagai Tuhan tapi di sisi yang lain sebagai makhluk. Ini jelas-jelas kemungkinan yang nggak benar. Logikanya, mana mungkin seorang tukang kayu yang bikin lemari, lahirnya bersamaan dengan lemari yang dibikinnya? Nggak mungkin!

Perlu diingat bahwa keterbatasan akal kita itu tidak mampu menjangkau hakikat dzat. Tapi yang kita cari bukan dzat dari Sang Pencipta, melainkan wujud keberadaan bahwa Tuhan itu ada dan kudu memiliki sifat azali (tidak ada awalnya dan tidak ada akhirnya). Seperti layaknya kalau kita menemukan kotoran hewan di suatu tempat pasti ada hewan yang buang kotoran di tempat tersebut.


Hakekat Hidup di tinjau dari Akal

Nah, kalau kita mau menggunakan akal yang udah di karuniakan Allah ini kepada kita tadi, maka kita akan sampai pada suatu kesimpulan ketika kita mengamati fakta manusia, alam semesta dan kehidupan ini. Ada sesuatu yang musti kita cari.

 Sesuatu yang telah menciptakan semua hal tadi, dari tidak ada menjadi ada, karena tidak mungkin manusia itu mengadakan dirinya sendiri, demikian gunung, kucing, laut, dan seterusnya. Karena mereka semua bersifat terbatas, tentu harus ada Dzat yang telah menciptakan mereka, dimana Dzat tersebut harus berbeda dengan makhluk bikinan-Nya, dia tidak boleh bersifat terbatas.

Akal hanya mampu memikirkan hal-hal yang inderawi yaitu: manusia, alam semesta, dan kehidupan. Sehingga karena keterbatasan itu Islam hanya mewajibkan manusia untuk memikirkan eksistennsi (keberadaan) Allah Swt dan melarang memikirkan esensi (zat)-Nya, dan emang nggak mungkin sih akal kita menjangkau Dzat-Nya.

Justru dengan keterbatasan akal kita menjangkau Dzat Tuhan, harusnya menambah kita makin yakin bahwa kita terbatas dan membutuhkan kepada Dzat yang tidak terbatas, siapa lagi kalau bukan Tuhan kita Allah Swt.

Dan ketika kita buka Al-Qur’an Allah berfirman dalam beberapa surat:

“Apakah mereka tidak menyaksikan unta, bagaimana ia diciptakan? Dan langit bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung bagaimana dia tegakkan? Dan bumi bagaimana dia hamparkan?” (Qs. Al-Ghasiyah 17-20)

“Hendaklah manusia memperhatikan dari apa ia diciptakan dari air memancar, yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dengan tulang dada perempuan.” (Qs. At-Thariq)

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya siang dan malam, terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang yang berakal.” (Qs. Ali-Imron 190)

Jadi, ketika perasaan menangkap adanya fenomena alam kemudian diimbangi dengan pencarian melalui proses berpikir dengan akal kita, maka itu saja nggak cukup. Untuk bisa jadi iman yang mantap dan sekaligus produktif, maka perlu penegasan dari ayat Al-Qur’an diantaranya disebutkan diatas.

Masih banyak ayat-ayat serupa didalam Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa ketika belajar dari alam, kehidupan dan manusia ternyata memang Allah yang menciptakan itu semua dari tidak ada menjadi ada. Yang bikin alam jadi teratur berjalan secara sinergi. Nggak pernah kita temui kan meski dilangit yang sama bulan tubrukan dengan matahari tau bintang?

Jadi, jelas sudah bahwa kita, alam semesta dan kehidupan ini semuanya berasal dari Allah dan bukan karena ada dengan sendirinya ataukah pula diadakan oleh sesuatu selain Allah. Ini adalah hal prinsip yang harus kita yakini karena terkait dengan pengakuan kita secara pasti bahwa Allah adalah pencipta kita. Karena dengan pengakuan yang kuat, yakin 100% tanpa ada keraguan akan hal inilah berarti kita baru disebut beriman kepada adanya Allah.


Posting Komentar