Foliopini adalah istilah yang merupakan gabungan dari dua kata, yaitu "folio" dan "opini".
-
Folio secara umum merujuk pada kumpulan dokumen, portofolio, atau rekam jejak tertulis yang mencerminkan hasil kerja, pemikiran, atau pengalaman seseorang. Dalam dunia akademik dan profesional, folio biasanya digunakan untuk menunjukkan kompetensi dan kontribusi seseorang dalam bidang tertentu.
-
Opini adalah pandangan, pemikiran, atau penilaian subjektif seseorang terhadap suatu isu, fenomena, atau peristiwa berdasarkan analisis, pengetahuan, dan pengalaman pribadi.
Pengertian Foliopini
Dengan demikian, foliopini dapat dimaknai sebagai kumpulan karya tulis atau dokumen yang memuat opini seseorang secara sistematis dan reflektif terhadap berbagai isu sosial, politik, budaya, keilmuan, atau kebijakan publik. Foliopini bukan sekadar opini bebas, tetapi opini yang ditopang oleh kajian, literatur, dan analisis kritis, sehingga memiliki bobot akademik dan profesional.
Berikut ini adalah tulisan foliopini dari Dr.Dedi Shahputra yang pernah terbit di harian Waspada Medan. Dr. Dedi Sahputra kini menjabat Wakil Rektor Universitas Medan Area.
Kebebasan - Kebablasan
Apa itu dosa besar.....?
Kaum Khawarij berteriak lantang, ’’Kafir...! orang Mukmin yang berdosa besar tidak dapat dikatakan Mukmin lagi, mereka sudah kafir.’’ Maka tempat mereka adalah di neraka.
Tapi tidak begitu dengan kaum Murjiah, mereka juga berteriak tak kalah lantang, ’’Bukan kafir...! mereka memang orang-orang yang melakukan dosa besar, tapi bukan kafir.’’
Maka sekoyong-konyong muncullah Washil bin ‘Atha. Dia bahkan mengabaikan gurunya Hasan al-Basri, seorang ulama terkenal di Basra. Orang Mukmin yang melakukan dosa besar, katanya, berada pada posisi antara Mukmin dan kafir. Mereka bukan Mukmin bukan pula kafir. Dan karena di akhirat tidak ada tempat antara surga dan neraka, maka mereka dimasukkan ke dalam neraka, tetapi siksaan mereka lebih ringan daripada orang kafir.
Pendapat Washil inilah yang kemudian dikenal dengan doktrin Muktazilah, sebuah aliran teologi dalam Islam, yang populer itu; al-Manzilah baina al-Manzilatain (tempat di antara dua tempat). Washil kemudian ’menyempal’ dari Hasan al-Basri dan mendirikan alirannya sendiri (100 H/718 M). Muktazilah mencapai masa keemasan pada masa pemerintahan Abdullah Al-Makmun (198-218 H/813-841 M) yang menjadikan aliran ini sebagai faham resmi negara.
Dalil akal (‘aqliyyah), lebih filosofis dan mementingkan kebebasan adalah ciri utama mereka, sehingga sering juga disebut dengan aliran rasionalis Islam. Mereka pun menyebut Al Quran sebagai makhluk ciptaan Tuhan sehingga tidak qadim.
Meskipun penganut kebebasan, namun sejarah mencatat Muktazilah pernah melakukan al-minhah (inkuisisi), yaitu memaksakan pendapatnya bahwa al Quran adalah makhluk. Mereka yang menentang pendapat ini wajib dihukum.
***
Nuuun... lebih seribu tahun kemudian di Indonesia, gerakan kebebasan kembali dikampanyekan melalui dukungan Barat. Tokoh-tokohnya seperti Nurcholish Madjid, Gus Dur juga Harun Nasution. Harun memasarkan misi ”me-Muktazilah-kan” IAIN dan perguruan tinggi Islam. Mantan Rektor IAIN Jakarta ini memopulerkan tokoh-tokoh Islam liberal dengan sebutan pembaharu.
Dari segi kebebasan, kaum Muktazilah tentu memiliki kesamaan dengan orang-orang liberal. Mereka yang mengagungkan kebebasan berpikir ini terus ”bergerak”. Membentuk berbagai kelompok, salah satunya AKKBB. Melalui pentolannya; Dawam Rahardjo dan Musda Mulia, akhir Januari lalu menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait PP No.1/PNPS/1965 yang sudah diundangkan melalui UU No.5/1969 tentang larangan penistaan agama.
Kalau tuntutan mereka ”jebol” maka kelompok serupa Ahmadiyah, Lia Eden dan sejenisnya tidak boleh dihukum. Negara gak boleh ikut campur urusan keyakinan orang lain. Entah.., mungkin mereka berupaya membuka peluang seluas-luasnya untuk umat Islam bertindak anarkis. Sehingga dengan mudah mereka akan mengukuhkan stigma Islam fundamentalis, tekstualis dan sejenisnya. Pada akhirnya mereka akan mengatakan bahwa ajaran Islam selama ini perlu diinterpretasikan ulang karena hanya mengajarkan kekerasan. Nek coyo...
***
Percayakah Anda kalau UU No.5/1969 ini dicabut bakal banyak muncul nabi baru, malaikat-malaikat baru baik dari kalangan pria, wanita maupun waria? Tentu saja, bahkan yang mengaku-ngaku tuhan pun bakal gak kalah banyak. Dan menurut hukum, kita tidak boleh mencampurinya meskipun mereka terang-terangan menistakan agama yang kita muliakan.
Di semua agama, penistaan itu terjadi. Di Kristen ada aliran Children of God dan Jehovah Witnesses. Tahun 2004, sebuah kartun berjudul Jesus Dress Up ditampilkan sebuah website di Amerika. Kartun itu menggambarkan Jesus disalib dengan mengenakan celana pendek dan diberi piyama setan. Protes keras pun tak terbendung dari sekitar 25 ribu orang.
Umat Islam juga tak ”kering” mengalami penistaan dari yang terjadi di luar negeri sampai di dalam negeri. Kasus Salman Rushie, film Fitna-nya politisi Belanda Geert Wilders dan banyak lagi. Semuanya mengatasnamakan kebebasan berbicara dan kebebasan berekspresi. Kebablasan.
Mungkin mereka yang menuhankan kebebasan itu beranggapan bahwa hanya dengan kebebasan maka kebenaran itu bisa didekati. Karena kebebasan membuat orang mengalami proses pencarian kebenaran. Dalam kasus gugatan kaum AKKBB ke MK itu, sejatinya mereka menuntut kebebasan menista agama dan memaksa orang menerima kebebasan itu
Syahwat Politik
Hajat Hati
Penulis : Dedi Sahputra
Mereka sungguh murah hati. Pandangan matanya, tutur katanya, gesture tubuhnya dan kata-kata yang meluncur dari mulutnya. Ada anak-anak, para gadis, para pemuda, kaum ibu dan bapak-bapak yang berkumpul menyambut kedatangan saya bersama tiga orang teman. Sungguh hati saya jadi ’berbunga-bunga’ karenanya.
Mereka adalah orang-orang yang masuk dalam kelompok masyarakat menengah ke bawah, atau lebih pas-nya adalah kelompok bawah. Ada yang berladang, penarik beca, buruh, penjaja kue dan berbagai bentuk pekerjaan kasar lainnya. Di kampung itu mereka hidup berkelompok, dalam suatu jamaah yang disebut; Ahmadiyah.
Mereka adalah orang yang hidup dalam pengakuannya pada kepemimpinan Mirza Ghulam Ahmad beserta ajaran-ajarannya. Selanjutnya saya tidak bermaksud mengupas tentang apa dan bagaimana ajaran kelompok yang telah dinyatakan sesat oleh MUI ini. Tapi satu hal yang pasti bahwa orang-orang sederhana yang saya jumpai hari itu adalah orang-orang yang juga berusaha mencari kebenaran.
Mereka hanya tahu bahwa ilmu agama yang mereka dapatkan dari orang tua, lingkungannya dan guru-guru mereka. Efek resonansi, di mana ikut bergetarnya suatu benda karena ada benda lain yang bergetar. Mereka beragama karena orang lain beragama—yang Anda boleh menyebutnya starting point—Suatu hal yang sesungguhnya jamak terjadi di lingkungan masyarakat kita.
Tapi dengan segala kerendahan hati saya ingin mengatakan bahwa kita kemudian harus punya perangkat di dalam diri untuk menilai sesuatu kebenaran. Seperti halnya untuk menilai suatu kekhilafan. Maka kalau kita salah tapi kita alpa untuk melengkapi software itu dalam diri, maka kita tidak pernah tahu kalau kita salah.
Tanpa itu kita bisa jadi ’nabi’ yang suka guyon seperti Ahmad Moshaddeq, atau menjadi ’Jibril’ sekaligus ’Imam Mahdi’ dan ’Maryam’ yang doyan makanan Padang dan nasi Rawon seperti Lia ’Eden’ Aminuddin. Kita juga bisa jadi eksekutor atau otak pembunuh Direktur PT.Putra Rajawali Banjaran, Almarhum Nasrudin Zulkarnaen, tanpa merasa bersalah atau menjadi George Bush yang memerintahkan membunuh ribuan orang Irak dan Afganistan dengan tetap merasa sebagai pahlawan.
***
Tapi hidup itu tidak pernah berjalan linier. Tidak pula melulu penuh pendakian atau seluruhnya penurunan tajam. Tidak ada juga manusia biasa yang sepenuhnya selalu benar ataupun selalu salah dalam hidupnya. Sistem keseimbangan yang dibuat Allah SWT adalah; akan selalu ada kebaikan dari ’rimbunan’ kesalahan dan akan ada selalu kesalahan dari ’tumpukan’ kebaikan.
Memang begitulah adanya, manusia tidak pernah mencapai kesempurnaan, mengenali kebenaran itu dalam kondisi kenisbian, dengan rangkaian kata-kata yang terbatas. Itulah sebabnya para sufi lebih suka bersyair, rangkaian kata yang melompati makna, untuk menggambarkan keindahan-keindahan yang ditemukannya.
Tapi itu tetap saja tidak cukup, tidak juga akan pernah kita melihat dengan utuh. Seperti dalam syair lagu Opick; Meski mungkin tak-kan sempurna...
Atau dalam kata-katanya Chairil Anwar; Susah sungguh, mengingatMu penuh seluruh
***
Karena ilmu Allah itu sangat luas hingga berkali-kali air samudra pun, kalau dijadikan tinta tidak cukup menuliskannya. Maka salam takzim bagi para ahli ilmu yang ’kecipratan’ ilmu Allah sehingga kedalaman dan keluasannya sangat sulit diukur. Maka jalan mencari kebenaran dan ilmu itu punya banyak pintu dan banyak penafsiran.
Kita tidak bisa berhenti pada kebenaran dan ilmu yang dianggap sudah mapan. Dan jangan menganggap salah setiap bentuk lain dari kebenaran dan ilmu yang kita fahami selama ini. Tentu saja ini bukan lantas membenarkan tafsiran Lia Aminuddin atau Moshaddeq, liberalisasi agama, faham feminisme ekstrim dan yang sejenisnya. Karena dalam Islam dikenal tajdid sebagai suatu mekanisme pembaruan.
Karena, sekali lagi, ada kebenaran dalam rimbunan kesalahan. Bahwa liberalisasi agama seperti halnya feminisme yang telah membentuk menjadi global theology yang menjadi pendukung utama faham-faham sejenis Lia dan Moshaddeq berakar dari sebuah kemarahan dan kebencian yang bahkan mengeliminasi software dalam diri yang sudah ada.
Maka orang-orang yang menjadi tuan rumah saya itu sejatinya adalah kelompok orang yang muncul dari pergulatan besar yang terjadi. Karena sebenarnya hati dan jiwa-jiwa mereka juga punya hajat untuk menemukan ilmu dan kebenaran.
Khazanah Akal
Azas Manfaat
Dan Bom Itu
Dari Sini Melihat Syurga
Di sore hari yang penat itu saya kehadiran tamu istimewa. Seorang teman lama yang sudah bertahun-tahun tak ketemu, bertegur sapa dan ngobrol panjang seperti ini. Wajahnya muram durja persis seperti suasana Pearl Harbor setelah diserang Jepang pada perang dunia II. Porak-poranda.
Dengan seketika rasa haus dan lapar saya serasa mendapatkan peluang untuk dikeyangkan. Dia seperti datang untuk mentraktir saya, menyuguhkan hidangan yang sangat jarang bisa dicicipi.
Lelaki itu datang berpuluh kilometer dari rumah saya. Separuh perjalanannya ditempuhnya dengan menumpang Angkot, separuh lagi dia mengandalkan kedua kakinya untuk membopong tubuhnya. Bukan karena dia suka olahraga atau peduli global warming tapi karena uangnya tidak cukup.’’Saya sudah hancur. Sudah berbulan-bulan saya tidak bekerja sejak dipecat dari tempat saya bekerja,’’ katanya.
Dia menceritakan bagaimana dia sudah melamar pekerjaan ke berbagai tempat tapi sejauh ini tidak berhasil. Dia juga sudah mencoba banyak pekerjaan sendiri seperti jual mie balap tapi becanya bertubrukan dan masuk parit, dia sudah coba berdagang pakaian dan perlengkapan dapur tapi rugi. Mau coba jadi supir Betor seperti orang-orang, tapi dia tidak punya keahlian untuk jadi pilotnya. Wajar saja, karena sejak kecil dia memang tidak pernah dipersiapkan untuk jadi ’orang susah’ sebab hidupnya selalu berkecukupan.
Alih-alih, kemudian pikiran tergerak untuk mencoba profesi baru, menjadi ’dukun’. Dia mengaku seperti mendapat ’kekuatan’ dan bisa menyembuhkan berbagai penyakit yang diderita orang. Atau paling tidak, dia bisa mengurut, sehingga tubuh yang pegal-pegal bisa fresh kembali. Pekerjaan inilah yang diandalkannya menyambung hidup istri dan seorang anaknya, meski kadang ada kadang tidak ada.
Satu hal yang berbeda dalam dirinya dari sebelumnya. Dulu dia memiliki kecenderungan hedonis yang kuat. Tapi sekarang serta merta dia seperti tersentak sadar bahwa hal-hal seperti bersifat remeh-temeh. Ada hal yang jauh lebih besar yang selama ini selalu saja ’memanggil-manggil’ tapi diabaikannya.
Dia terus bercerita panjang lebar hampir tanpa jeda. Teman yang cintai ini seperti ingin menumpahkan seluruh air laut ke dalam bejana yang tak memiliki dasar. Saya hanya diam saja, sambil terus mendengarkan kata-katanya meluncur deras menumpuki saya.
Sungguh, saya harus lebih menyukai tipe tamu yang seperti ini daripada orang yang menawarkan kehangatan, sangat hangat sampai-sampai mengalahkan hangatnya sinar matahari.
Teman saya yang satu lagi adalah seorang pejabat publik yang tidak saja kesohor punya sikap dermawan, peduli sesama tetapi juga seorang yang alim. Tapi sebagai seorang pejabat publik, hari-harinya disibukkan dengan bertumpuk-tumpuk pekerjaan. Di usianya yang memasuki senja itu dia bahkan harus sering keluar kota meninggalkan keluarganya berhari-hari lamanya.
Sejauh ini dia memang menikmati segala kemegahan dan prestise hasil kerja kerasnya yang dibangun bertahun-tahun sejak masa mudanya itu. Sampai pada suatu titik dia harus dihadapkan pada kenyataan bahwa dirinya harus berurusan dengan masalah hukum. Seketika dia harus meninggalkan semua kebanggaan dan sanjungan orang untuk menetap di hotel prodeo.
’’Saya tidak tahu apakah saya harus merasa sedih atau bahagia. Tapi yang jelas hati dan perasaan saya jauh merasa lebih tenang di sini ketimbang di luar sana,’’ katanya ketika suatu hari saya menjenguknya.
Hidupnya kini bisa lebih teratur, dengan ritme yang ’anggun’. Hubungannya dengan Tuhan juga semakin ’indah’, ibadahnya semakin mantap. Begitu juga hubungannya dengan keluarga jadi semakin dekat. ’’Saya seperti bisa melihat surga dari sini,’’ katanya.
Terkadang Tuhan memang menempatkan barang yang sangat ’berharga’ di tempat-tempat yang tidak kita duga-duga. Tidak juga harus berada pada tempat yang dianggap prestisius dalam struktur hidup sosial. Atau malah berlawanan dengan tujuan hidup yang selama ini dikejar.
Hanya saja terkadang manusia sering tidak menyukai bahkan mengacuhkan titik-titik tersebut, sampai Allah dengan sifat Ar-Rahiim-nya harus memaksa orang untuk berpindah tempat. Allah SWT seolah telah menetapkan titik-titik di mana manusia bisa berdiam di sana agar ma’rifat-nya bisa menatap kehidupan di kosmos ini secara lebih persis. Titik di mana seseorang berada pada garis lurus dengan Rabb-nya.
Algoritma Pemimpin
Oleh : Dedi Sahputra
Inilah di antara isi pidato Sayyidina Abu Bakar Siddik ra ketika diangkat menjadi khalifah: “Jikalau aku dapat menunaikan tugasku dengan baik, bantulah (ikutlah) aku, tetapi jika aku berlaku salah, maka luruskanlah! Hendakklah kamu taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya, namun bila mana aku tiada mematuhi Allah dan Rasul-Nya, kamu tidak perlu mematuhiku”.
Ini bukan sekedar retorika, apalagi pidato kampanye yang mendagangkan janji. Ini semacam gantlemen agreement yang penuh konsekuensi di dalamnya. Dalam bahasa Chairil Anwar, Abu Bakar ra mengucapkan kata-katanya dengan “penuh seluruh”. Dan sejarah kemudian mengonfirmasi pernyataan sang khalifah tersebut.
Saya lantas bertanya-tanya, apa yang membuat Sayyidina Abu Bakar ra bisa berkata seperti itu. Ternyata tidak mudah menjawabnya. Karena saya harus terbang ke masa sekitar 250 tahun setelah sang khalifah, tepatnya di zaman hidupnya seorang tokoh yang pernah mengguncang Eropa: Abdullah Muhammad Ibnu Musa al Khawarizmi. Di sana saya menemukan kesimpulan bahwa Sayyidina Abu Bakar ra bisa berpidato seperti itu karena ia telah melalui algoritma untuk menjadi seorang pemimpin.
***
Ada dua wajah, kata Erving Goffman. Yang pertama disebut dengan wajah panggung yang diistilahkannya dengan front region. Wajah ini digunakan di area publik, penuh subjektivitas bahkan setting atau buatan untuk kepentingan panggung. Karena itu dia cenderung temporal.
Wajah kedua disebut dengan front personal yang lebih objektif. Seperti namanya, wajah ini untuk keperluan personal saja, dan karenanya dia digunakan secara limited. Dia merupakan watak asli yang tidak segan berbentuk profan. Karena asli, maka dia lebih berkekalan.
Saya menemukan teori Dramaturgi ini sekembali dari masa al Khawarizmi. Sejak dicetuskan Goffman di pertengahan abad ke 20 Masehi, nyatanya banyak yang menggandrunginya. Atau setidaknya punya pola sama dalam mengejar ambisi jadi pemimpin. Dari mulai orang yang mau jadi presiden, menteri, komisaris BUMN, jadi rektor, sampai yang kepingin jadi Kepling.
Apa yang dipaparkan Goffman menjelaskan bahwa kalau ada yang menunjukkan kesan bahwa dirinya merakyat, peduli, cerdas, punya niat dan hati yang suci dan sejenis maka itu adalah lakon teaterikal di panggung kekuasaan. Karena di belakang panggung dia menyikut, menyuap, berjudi, bila perlu dia nangis-nangis bombay biar orang percaya.
Dua wajah ini saling berlindan sampai ketika mereka benar-benar menjadi seorang pemimpin. Begitulah, nyatanya tidak sedikit di antara orang-orang itu yang mendapatkan apa yang dikejarnya. Rupanya al Khawarizmi bukan satu-satunya referensi algoritma untuk menjadi pemimpin.
***
Algoritma adalah urutan barisan instruksi dan juga langkah-langkah yang logis dalam rangka penyelesaian suatu masalah yang tersusun berurutan dengan sistematika dan dengan cara logis. Dalam menghadapi suatu masalah misalnya, maka didekati dengan suatu model tertentu.
Dari model ini maka disusunlah algoritma, yang dalam bahasa komputer kemudian disebut dengan program. Dari algoritma ini kemudian dilakukan eksekusi-eksekusi sesuai urutan sebelum menghasilkan suatu solusi tertentu.
Adalah al Khawarizmi yang oleh lidah Barat disebut dengan Algorismi. Di antara karyanya yaitu Al Jabar yaitu cabang ilmu matematika untuk penyederhanaan dan pemecahan masalah menggunakan simbol mengganti konstanta dan juga variable. Lagi-lagi oleh lidah Barat, Al Jabar disebut Aritmatika.
Tapi dalam kelulasaan itu Sayyidina Abu Bakar ra, malah mengikat dirinya kepada publik, membatasi sendiri kekuasaannya. Beliau membuka diri untuk meluruskan tindakannya. Anda tahu sesuatu yang diluruskan itu? Kalau ia sudah kadung mengeras, maka akan patah. Dan itu pasti akan sakit sekali.
Maka tahulah saya mengapa pidato pelantikkan Sayyidina Abu Bakar ra itu dilafaskannya penuh seluruh. Karena ia dapatkan jabatan khalifah itu dengan algoritma-nya yang benar. Dia memulai dari nilai yang lurus, melalui proses yang lazim dan lurus, dia tidak menggunakan wajah panggung, karenanya tak perlu menyikut apalagi menyuap.
Algoritma ini ukuran. Siapapun pemimpin tidak akan sanggup mengucapkan sebagaimana Sayyidina Abu Bakar ra. Kalau nekat mereka akan pidato sambil hatinya serasa dicubit-cubit.(Vol.1-20/11/2020)
Bunga Yang Gembira
Bekurban Kontrak Seumur Hidup
Seandainya perintah berkurban seperti yang diperintahkan kepada Ibrahim as diturunkan sekarang ini, mungkin orang akan bilang imposible. Tidak mungkin ada orang yang mau berkurban seperti itu, tidak mungkin ada perintah seperti itu dari Tuhan, tidak mungkin ada yang percaya dan tidak mungkin-tidak mungkin lainnya. Bahkan hampir pasti Anda akan dibilang gila oleh orang yang menyebut dirinya liberal.
Tentu saja saya tidak bermaksud mengatakan ada perintah semacam itu di zaman ini. Saya juga bahkan akan mengatakan tidak mungkin kalau ada orang yang mengaku mendapat wahyu untuk memenggal leher anaknya. Sama seperti Nabi Ibrahim as yang juga tidak percaya ketika pertama kali dia bermimpi diperintah mengurbankan hartanya yang paling berharga itu.
Tidak pula akan ada anak seperti Ismail, mau secara sukarela digorok bapaknya sendiri. Akal manusia akan menolaknya, orang yang bertindak seperti itu bakal berhadapan dengan petugas dari Polsek dan trial by the mass melalui info gosip. Orang seperti itu akan digolongkan sama seperti Ryan si Penjagal dari Jombang karena melakukan pembunuhan berencana.
Tapi akidah melampaui akal dan hukum positip. Ibrahim as meletakan dasar akidah itu juga tidak secara serta merta. Untuk menegakkan tauhid, Ibrahim telah mengasah kapaknya sedemikian tajam, merubuhkan berhala-berhala kecil dan dengan sengaja meninggalkan berhala yang paling besar dengan kapak yang menggantung di lehernya, untuk menjadi pelajaran komparatif.
Maka ketika akidah sudah tertanam mengganti segala berhala, setiap pengorbanan yang bermuara kepada Tuhan Yang Maha Melihat akan dengan senang hati dijalani. Berkurban akan menjadi kontrak seumur hidup. Maka kalau Anda disuruh memilih menjadi orang yang menganiaya atau dianiaya, maka pilihannya pasti lebih senang dianiaya. Kalau dihadapkan pada pilihan menyakiti hati orang atau ngenes karena disakiti, pasti akan lebih senang disakiti. Atau kalau Anda sedang ditipu orang, mestinya merasa lebih lega daripada Anda yang menipu.
Orang yang berhasil mengusir berhala dari dalam dirinya mampu menyangga nasibnya dengan ringan--punya formulasi: bahwa sepahit apapun yang dialaminya sekarang ini, suatu saat akan terasa manis.
***
Setengah bercanda, seorang teman mengatakan dirinya memang belum menyandang gelar ’H’ di belakang namanya karena dia belum berangkat haji. Tapi harusnya, katanya, dia menyandang gelar ‘S.S.P.Z’. Karena selain haji, empat Rukun Islam yang lain sudah dikerjakannya.
Syahadat sudah sejak sekian lama diikrarkan dan dibacanya dalam setiap shalat. Shalat juga sudah sejak kecil dia mengerjakannya, walau kadang masih saja bolong. Demikian pula dengan puasa dan zakat, setiap tahun dilakoninya hampir tidak pernah absen. Lantas kok hanya haji saja yang punya ’hak’ untuk ditempeli di belakang nama orang. Ini kan gak fair.
Anda boleh juga boleh mengatakannya fair ataupun tidak fair, sesuai dengan ijtihad yang Anda miliki. Sama seperti dalam jamaah shalat Shubuh di sebuah Mushallah di Tengerang. Ketika shaf pertama hampir penuh dan hanya menyisakan tempat untuk satu orang, maka seorang tua berkata lantang, ’’Ayo yang pake peci (pakai baju koko) yang maju.’’ Kalau saja ada yang pakai kaus oblong tanpa peci nyelonong ke shaf depan, mungkin dia akan dicap tak sopan dan tak beradat.
Lebih kurang mirip kisah protes Nashrudin Hoja yang ditolak menghadiri pesta di istana karena pakaiannya yang apa adanya. Diapun ganti pakaian yang bagus dan datang lagi. Namun pakaian itu kemudian dicopotnya dan memasukannya ke dalam piring dan gelas sambil berkata, ’’Makan dan minumlah karena kamu yang diundang.’’
***
Kurban yang kita laksanakan sekarang ini adalah meneladani Ibrahim as. Haji kita juga untuk menjalankan syariat menziarahi tempat-tempat bersejarah. Tempat di mana Ibrahim merubuhkan berhala-berhala meski harus menentang bapaknya sendiri.
Tapi berhala itu ternyata terus menerus malih rupa dari satu bentuk ke bentuk lain, dari satu kondisi ke kondisi lain. Bahkan ketika shalat di Musholla tadi, berhala itu masih berubah wujud ke dalam bentuk peci dan baju koko.
Bentar Lagi Puasa
‘’Bentar lagi kita puasa ya..,’’ katanya tak lupa tersenyum. Ba’da shubuh kemarin, seorang jamaah dengan wajah cerah berseri berujar.
Menjelang Ramadhan seperti ini, saya seringkali menemukan semangat yang menggebu-gebu dari para kaum Muslimin. Mereka mengekspresikan dan merasakan semangat atau kegembiraan itu secara berbeda-beda.
Jamaah ini adalah tipe orang yang benar-benar sadar akan melimpah ruahnya hidayah di bulan Ramadhan ini. Oleh karenanya dia tidak ingin kehilangan kesempatan ini sedikitpun. Maka sebelum Ramadhan datang dia sudah meningkatlah intensitas ubudiyahnya, dari mulai shalat Tahajjud, shalat Dhuha, puasa sunat Senin-Kamis, sedekah dan lain sebagainya. Diapun terus menerus memperbaiki hubungannya dengan teman, tetangga dan siapa saja.
Tidak itu saja, dia juga rajin mengingatkan saudara-saudaranya untuk melakukan yang sama. Meskipun pemahaman agamanya biasa-biasa saja, tapi inilah tipe orang yang bergembira dengan datangnya Ramadhan. Mulutnya tidak pernah berucap “aku senang Ramadhan datang’’, tapi sikap dan perilakunya menjawab semua itu lebih pasti.
Seperti Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq yang telah menemukan Allah melalui pengalaman-pengalamannya. Dia mengalami hidup, menapakinya langkah demi langkah, menghayatinya dan dia menemukan Allah. Inilah manusia paripurna itu. Penghayatan pengalamannya membuatnya mengenali kebenaran itu.
***
Ada juga tipe orang yang sangat bergembira ketika Ramadhan datang. Sayangnya dia tidak benar-benar menyadari kalau dia sangat bahagia. Ada sesuatu di dalam dirinya yang sulit sekali dikenalinya melalui uraian kata-kata yang terucap maupun hanya syir di benak.
Karena selalu saja laku didasari oleh rasa yang terungkap oleh kata-kata, maka orang seperti ini akan menjalani kegembiraannya itu tidak dengan sepenuhnya. Rasa dalam dirinya mengenali Allah tetapi akal dan pikirannya tidak mampu menerjemahkannya.
Maka mereka terkadang melihat Allah di segala sesuatu, tetapi terkadang dia hanya melihat dunia di segala sesuatu. Kalau Sayyidina Utsman Ibn Affan meletakkan dunia di tangan kiri dan Allah yang diletakkannya di tangan kanannya. Maka tipikal orang yang saya maksud dia juga meletakkan Allah di tangan kanan dan dunia di tangan kiri, tetapi adakalanya dibuat terbalik, dunia di tangan kanan, Allah di tangan kiri.
Tipe selanjutnya adalah orang yang melihat segala sesuatu dari ukuran perutnya. Orang seperti ini memiliki kecenderungan untuk memikirkan profit. Dia melihat, gelas yang terbayang profit, dia melihat gadis cantik yang terbayang profit, dia melihat kemiskinan dia berpikir profit, dia melihat Ramadhan dan dia berpikir profit. Segala sesuatunya diukur oleh kepentingan dirinya. “Keuntungan apa yang akan kudapat,” dia selalu berujar begitu.
Maka ketika dia puasa, yang terpikirkan adalah, apa untungnya dengan dia berpuasa. Demikian juga ketika shalat, sedekah. Kalau orang seperti ini bertemu Anda, dia juga akan mengukur seberapa berharga Anda bagi keuntungannya. Penghargaan yang ditunjukkannya kemudian bergantung penilaiannya tentang “harga” Anda. Dia tidak akan menyadari human entity Anda yang memiliki keterbentangan luasnya jagat raya yang tersimpan di alam batin Anda.
***
Saya tidak sedang mengelompokkan tipikal orang dalam kategori baik dan buruk. Karena saya lebih cenderung melihatnya sebagai sebuah proses manusia menemukan kesejatiannya.
Saya sendiri dulu, kalau menjelang puasa begini yang terpikir cuma bacaan. Bagaimana senengnya menghabiskan waktu dengan membaca serial Wiro Sableng yang selalu bikin saya ngakak sendiri kayak orang gila.
Karena kebanyakan kita bukanlah manusia sekaliber Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib. Kalau Abu Bakar mengalami dunia hingga menjadi paripurna, maka dalam pandangan Ali yang ada hanya Allah saja, dia tidak melihat dunia sejak awal hidupnya. Ketika beliau melihat istrinya yang tampak Allah, ketika melihat perang yang tampak juga Allah, ketika melihat langit, makanan, pasar, uang yang tampak hanya Allah.
Maka ketika pasukan Muawwiyah yang terpojok itu mengangkat Mushaf Alquran sebagai tanda perdamaian, Ali setuju meskipun dia berujar ‘Kalimatu haqqin uriida bihal baathil` (ini perkataan yang hak tapi digunakan untuk kebatilan). Sebagian kaum Muslimin waktu itu tidak setuju dengan Ali karena memang ini jelas taktik bulus Muawwiyah. Tapi begitulah, mereka tidak melihat apa yang dilihat Ali.
Idul Fitri Dan Gadis SPG
Oleh : Dedi Syahputra
Beberapa hari terakhir ini saya menikmati tradisi berlebaran dengan mengunjungi banyak tempat. Dari mulai pesta keluarga di rumah makan mewah sampai bersilaturahim ke sudut-sudut desa, dari rumah ke rumah, sampai orang-orang yang berbondong-bondong mengunjungi saya. Saya menjumpai seribu wajah silih berganti; saling mengucapkan kata maaf.
Beberapa orang yang saya temui memiliki itikad baik yang sangat luar biasa. Mereka begitu tulus memberi dan memohonkan maaf—yang membuat saya merasa ‘malu’ ketika berhadap dengan mereka. Orang-orang ini berasal dari latar belakang yang beragam, ada seorang penaik beca, ada juga yang berasal dari kalangan jet set, ada yang SD pun tak tamat, tapi ada juga yang bertitel dan berpangkat jenderal.
Mata, hati dan pancaran tubuhnya seolah menyeret saya kepada suatu dimensi lain ketika itu. Mereka adalah orang-orang yang telah sampai pada maqam pasca takut dan berani. Puasa intensif yang dilakoni sebulan penuh ternyata membuat mereka mengalami suatu proses ‘peragian spritiualitas’ atau pelekangan kotoran dari jiwa mereka. Jiwa itu kemudian mencari jalan menemukan kemurnian di Idul Fitri dengan merecovery hablumminannas.
Seperti halnya hujan yang turun membasahi bumi, atau seperti bintang yang bersinar di waktu malam, atau ketika gunung harus meletus menyemburkan lahar panas, bukan karena para makhluk Allah tersebut merasa takut atau merasa berani. Tapi karena memang mereka harus melakukan hal tersebut dengan sendirinya. Manusia-manusia seperti ini berjuang melawan dirinya sendiri, melawan kesombongannya, angkara murka dalam dirinya, kesemena-menaannya karena memang mereka harus melakukan hal itu.
Mereka berusaha keras menjauhi sifat arro’aaHustaghnaa (melihat dirinya serba cukup) sebagai pangkal predikat layathghoo (benar-benar melampaui batas, QS.Al-Alaq: 6-7). Sampai pada titik ketika ’mencecahkan’ kakinya di realitas kehidupan, mereka akan melawan setiap ketidakadilan, menghadapi setiap kekuatan yang mengingkari Tuhan, berjuang di lahan politik dan lain sebagainya bukanlah karena dia takut atau berani, tapi seperti hujan dan bintang mereka membasahi bumi dan bersinar karena memang sudah seharusnya demikian.
***
Dalam kompleksitas kehidupan modern, kita menemukan bahwa hampir tidak ada sesuatupun yang berdiri dengan sendirinya tanpa ada ’penopang’ di belakangnya, tanpa ada struktur secara sosial yang mengelilinginya. Maka kemudian kita mengenal dosa individu dan dosa struktural.
Bahwa orang yang sudah memiliki pencerahan secara personal, ketika ditempa di Ramadhan, memiliki tantangan besar menghadapi 11 bulan lainnya dalam kondisi struktural yang terkadang sama sekali tidak mendukung pemahaman spiritualitasnya. Celakanya, ada yang kemudian kalah terjerembab, bahkan ada yang sampai pada level asfalasaafiliin (tempat yang serendah-rendahnya, QS.At-Tin: 4), karena ’baterai’ nya keburu habis.
Maka kegelisahan masyarakat modern sekarang ini adalah ketika dia mendapati dirinya berada di tengah lingkungan pekerjaannya, lingkungan tempat sehari-harinya berinteraksi dipenuhi nuansa kekuasaan yang manipulatif, kolusi otomatik, hipokritisasi dan sebagainya. Maka orang yang sebenarnya memiliki kecenderungan menjadi baik dan saleh, tetapi jika terus berada di lingkungan yang tidak mendukung kecenderungannya dia akan ikut menjadi tidak baik. Inilah rahasia dari nasihat bijak untuk selalu bergaul dengan orang-orang salih agar kita kecipratan berkah.
Tapi kewajiban ekonomi terkadang mengharuskan orang untuk menjadi seorang bartender di sebuah bar penjual khamr. Atau seorang gadis yang harus mengangkat tinggi roknya untuk menjadi seorang sales promotion girl. Meski pada awalnya mereka harus bersujud berlama-lama dalam shalatnya pada jeda pekerjaan mereka, tapi kemudian mereka bisa menjadi sangat menikmati pekerjaan tersebut—suatu sistem yang sebenarnya diciptakan sendiri oleh manusia.
Makna Idul Fitri sebagai sebuah kemenangan ternyata harus difahami sebagai pecut untuk kemenangan lainnya. Kalau Idul Fitri berarti kemenangan individu, maka pecut yang harus ditempa adalah kesadaran untuk kemenangan secara struktural. Karena memang Idul Fitri telah membuat kebersamaan hidup kita sebagai manusia tidak sekedar kumpulan yang disebut masyarakat, tetapi lebih dari itu, Idul Fitri menjadikan kita sebagai suatu umat yang memiliki suatu batasan tentang kebenaran, standar akhlak, moral yang menjadi perekat satu sama lain yang disifati oleh sejumlah nilai-nilai dari Allah SWT.
Dan Malaikatpun Gemes
Oleh : Dedi Sahputra
Di salah satu bagian hidupnya, Almarhum Bangun Sugito atau lebih dikenal dengan nama Gito Rollies pernah muncul di Medan. Malam itu dia bercerita panjang lebar tentang dirinya, masa lalunya dan kerinduannya kepada Illahi.
‘’..hanya anak domba yang lepas dari rombongan yang akan dimangsa srigala. Karena itu, hidup kita ini harus berjamaah,’’ katanya waktu itu. Bersama halaqah-halaqah yang diridhoi Allah SWT. Seperti biasa, setiap kali berbicara mengenang masa lalunya dia selalu menangis meneteskan air mata. Bagaimana dulu dia terbiasa dengan minuman keras, Narkoba dan berbagai kehidupan malam lainnya. Setiap kali terbanyang masa lalunya, setiap kali pula dadanya terasa sesak, dan sujud pun tak puaskan inginnya untuk haturkan sembah sedalam kalbu.
Ya, Gito menyadari bahwa dirinya adalah orang yang pernah lepas dari rombongan besar kaum Mukminin. Tubuhnya habis dicabik-cabik ‘srigala’ hingga terpuruk ke dalam kubangan kemaksiatan. Tidak satupun maksiat yang tak pernah dilakukannya. Sampai akhirnya hidayah itu tiba, dengan tertatih-tatih dia kembali ke rombongan dengan penuh ‘luka’ di sana-sini.
Hari-hari menjelang hayatnya, tidak satupun kesempatan disia-siakannya untuk berhijrah di jalan Allah SWT. Bahkan sakitpun tak menghalanginya untuk berdakwah, berbagi pengalaman, mengajak orang untuk ikut berhijrah. Gito adalah model hijrah yang sempurna, dari kekelaman masa lalu, bersungguh-sungguh dan bergegas ke jalan Allah.
***
Sudah menjadi sunnatullah bahwa alam semesta beserta isi dan segala kejadiannya akan terus bergerak dinamis. Kosmos dan hukum yang melingkupinya merupakan bagian dari suatu proses dari awal mula sampai berakhirnya nanti, siang selalu bergerak malam juga sebaliknya, orang akan tumbuh dari bayi, anak-anak, remaja, dewasa, tua dan mati. Zaman juga berubah, dari masa penjajahan, revolusi fisik, orde lama, orde baru, reformasi dan nanti pasti akan berubah lagi. Atau kalau mau lebih luas lagi, ada masa Romawi kuno, ada masa kejayaan Islam dan kini ada pula negara adidaya Amerika Serikat yang menjadi poros peradaban dunia kontemporer dan pasti ini juga akan bergerak dan berganti.
Manusia sebagai mahluk yang dipercayakan sebagai khalifah di muka bumi harus ikut dinamis, terus bergerak, berhijrah dari satu posisi ke posisi lainnya. Orang yang bersifat statis akan tergerus oleh ’gerakan alam’. Bahkan ketika orang bermain sepakbola, dia harus terus bergerak ke sana ke mari dalam garis lapangan, seorang petinju juga harus terus bergerak di atas ring agar tidak menjadi sasaran empuk lawan. Dalam batas-batas tertentu, orang harus terus bergerak dan tak boleh diam.
Hijrah adalah wajib karena setiap yang statis akan membusuk; batu yang tak bergerak akan berlumut, air parit yang tak mengalir akan berbau busuk dan jadi sumber penyakit, kendaraan yang lama tidak digunakan juga bisa game over. Maka ketika ada kelompok umat Muslim Makkah menolak ajakan Rasul untuk berhijrah, mereka kemudian ditindas oleh kafir dan dipaksa berperang. Orang yang menolak hijrah, yang kemudian wafat adalah zầlimii anfusihim atau orang yang menganiaya diri sendiri.
Sampai-sampai malaikat pun merasa gemes kepada orang yang tidak mau diajak berhijrah ini. Lha wong disuruh ke tempat yang lebih baik, disediakan tempat yang luas di muka bumi dan disediakan rezeki yang banyak (Q.S. 4:100), kok gak mau. ...fiima kuntum... alam takun ardullầhi...(Q.S. 4:97) dalam tafsiran bebasnya kira-kira malaikat berkata begini, ...gimana sih kalian ini... bumi Allah itu-kan luas...
***
Salah satu ciri masyarakat urban adalah tingkat stress yang tinggi. Orang kehilangan momentum untuk menemukan tujuan hidupnya dan kebosanan pada rutinitas kehidupannya. Fenomena yang terjadi, ketika orang menemukan kebuntuan maka akan beralih atau berhijrah ke jalan agama. Saya merasakan di tahun-tahun belakangan ini orang berbondong-bondong kepada agama, seperti magnet, perilaku satu orang yang berhijrah akan mempengaruhi perilaku lainnya.
Gito Rollies adalah salah satunya, tipe orang yang berhijrah secara total dan bersungguh-sungguh. Di luar itu masih banyak orang yang meletakkan satu kakinya di jalan yang lurus sedangkan sebelah kakinya lagi masih tertanam dalam kemaksiatan.
’’Paling tidak kita sudah hijrah, walaupun bertahap...’’ Mungkin kalimat ini yang dijadikan pembenaran dari pola hijrah yang setengah hati. Karena sudah dimulai, Insya Allah makin lama makin mantap dan bisa semakin sempurna. Harus optimis dong...
Namun, salah satu makna hijrah adalah peningkatan secara kualitatif perjuangan, ubudiyah secara individu maupun berjamaah. Ketika kita bergerak untuk hijrah sesungguhnya tidak ada lagi kata pesimis ataupun optimis, karena yang ada adalah gerakan itu sendiri. Rasa optimis dan pesimis itu berbaur menjadi satu menjadi satu perasaan harap-harap cemas. Gerakan hijrah berarti memboboti sesuatu dengan isi, sedangkan statis adalah sesuatu yang kosong yang gampang dirasuki apa saja.
Beginilah Mencintai Itu
Oleh : Dedi Sahputra
Provokasi itu terjadi lagi. Sesuai janjiNya, orang-orang itu tidak akan pernah senang. Desingan kebencian itu begitu terasa menyengat. Sekedar memancing emosi supaya kemudian bebas mencaci maki; konservatif, fundamenalis, agama kekerasan, garis keras atau mungkin teroris.
Begitulah polanya. Bentuknya kali ini adalah perlombaan menggambar kartun Rasulullah Muhammad SAW. Muncul begitu saja di jejaring pertemanan facebook, sebuah akun yang sangat provokatif bernama Everybody Draw Mohammed Day. Di halaman grup yang dibuat 25 April lalu itu, pengelolanya mengajak pengguna facebook di seluruh dunia menggambar sosok Nabi Muhammad tepat pada 20 Mei 2010.
Ada 64.387 lebih pengguna Facebook yang menyatakan suka terhadap grup tersebut. Sedangkan yang menyatakan akan hadir dalam acara itu lebih 15.256 orang, 5.469 orang masih pikir-pikir, dan 31.759 tidak akan hadir.
Seruan boikot pun terdengar. Respons umat Muslim beragam, ada yang sami’na wa atha’na, ada yang tidak merasa terganggu sama sekali, tidak sedikit pula yang tak mendengar kasus ini. Pemerintah Pakistan sudah lebih maju, memblokir sementara akses terhadap facebook negara ini juga membuka jejaring tandingan dengan nama millatfacebook.com.
Lantas, sebuah blog dari sebuah situs media terkemuka di nusantara menyajikan berita ini dengan nada yang terkesan santun, tapi sebetulnya sangat sinis. Dalam lead-nya dia menulis: Para pengguna Internet di Indonesia kembali diuji kedewasaan dan kearifannya. Setelah kasus pernyataan rasial seorang mahasiswa Bandung di Facebook yang memicu heboh pekan lalu, kini ada lagi peristiwa yang membuat kegegeran...
Tentu saja sinis. Dia memberi garis yang sangat tegas; dewasa dan arif. Gak perlu marah-marah, toh cuma gambar kartun ini. Apalagi sampai menimbulkan gejolak, kan semakin banyak yang rugi. Dia seolah-olah mengatakan, kalau umat Muslim mau menerima dan memaklumi hal ini, maka itu artinya dewasa dan arif. Tapi kalau marah-marah, pake demo segala, apalagi sampai anarkis, maka itu namanya tak dewasa dan tak arif.
***
Marah...?
Orang biasa marah kalau mobil atau sepedamotornya diserempet dari belakang, orang marah kalau rumahnya kemalingan, orang marah kalau ceweknya direbut cowok lain, orang marah kalau dia ditipu, orang marah kalau “lahan rezekinya” ditelikung saingan atau kalau ada orang ngutang tapi lupa bayar. Ini yang disebut marah.
Tapi ketika seorang manusia agung, Rasulullah Muhammad SAW yang jadi panutan dunia akhirat dilecehkan dengan sangat hina, maka kata marah itu kehilangan maknanya. Sama sekali tidak tepat. Grade-nya tertinggal jauuuuuh di bawah.
Anda mungkin pernah mendengar rayuan seorang Playboy Cap Lonceng seperti ini “engkaulah jantung hatiku, beib”. Tentu saja ini adalah gombal yang sangat tradisional, kalau tak mau dibilang murahan. Karena dia adalah peniru, sekedar meniru saja.
Tapi bagi orang beriman, sejak dia menyadari telah mengikrarkan Laa ilaaha Illallah Muhammadarasulullah, maka Muhammad SAW adalah jantung dan hatinya.
Orang beriman mencintai Rasulullah dengan jantung dan hatinya, dengan setiap detakan darah yang mengalir di sekujur tubuhnya, setiap tarikan nafasnya. Orang beriman mencintai Rasul dan memendam rindu sepanjang hidupnya untuk bertemu Rasulullah. Rindu yang tak pernah bersekat, cinta yang merupakan emosi kebajikan yang meledakkan semangat memberi dalam jiwa. Itu rindu dan cinta kepada rembulan yang memantulkan sinar matahari.
Orang beriman mencintai Rasulullah lebih dari dia mencintai keluarga, harta, dan bahkan nyawanya sekali pun. Muhammad SAW merupakan sosok yang namanya paling sering disebut. Lidah orang Mukmin hampir tiada pernah kering menyebut namanya. Di tengah kekhusyukan memuji dan bershalawat itulah mereka, dan kaum kafir itu melecehkan beliau berulang-ulang.
***
“Saya Islam, dan bagi saya tidak ada orang dalam Islam yang lebih pantas saya cintai daripada Rasulullah Muhammad SAW. Tapi soal gambar, saya termasuk orang yang tidak keberatan Rasulullah digambar, tentu saja dalam ilustrasi yang terhormat… Karikatur pun, dalam bentuk dan konteks yang menghormati, mengagungkan, bukan menghina, saya pikir tidak masalah.”
Ini adalah salah satu komentar dari tulisan di blog yang saya sebutkan tadi. Sejatinya orang yang katanya Muslim, yang berpandangan seperti ini cukup banyak. Bagi saya setidaknya mereka termasuk dalam dua pengelompokkan besar; kalau tidak naïf sekali tentu mereka adalah penentang sejati. Yang pertama adalah orang yang terikut arus opini yang menyesatkan dan malas meng-upgrade pemahamannya tentang agamanya, sedangkan yang kedua adalah orang-orang fasik yang secara sadar memilih menjadi musuh Islam. []
Demokrasi Mimpi Yang Sempurna
Oleh : Dedi Sahputra
’MARI pertahankan Indonesia kita’. Iklan petisi ini menyatakan ada sekelompok orang yang seolah ingin menghapuskan hak-hak warga negara dalam kebebasan beragama. Iklan ini muncul untuk mendukung keberadaan Ahmadiyah yang dinilai sebagai kaum minoritas yang memiliki hak hidup.
Argumentasinya adalah, tidak ada pihak yang bisa memonopoli kebenaran. Setiap orang berhak menafsirkan kebenaran sesuai referensi yang dimilikinya dan mengikuti kebenaran yang diyakininya tersebut. Ini adalah ruang pribadi yang asasi yang tidak bisa diganggunggugat orang atau kelompok orang lain. Ahmadiyah adalah kelompok orang yang memiliki hak itu, untuk itu harus dilindungi.
Itulah konsekuensi nilai demokrasi yang kita anut. Setiap entitas memiliki hak untuk hidup. Karena demokrasi itu hidup dengan ditopang nilai-nilai kebebasan, maka setiap perbedaan yang merupakan ’turunan’ dari kebebasan itu harus diberi tempat.
Sampai di titik ini saya berhenti sejenak. Memang tidak ada yang salah dari demokrasi ini. Karena Tuhan pun memberikan nilai-nilai demokrasi itu kepada manusia. Tuhan bahkan mengakui hak manusia untuk memilih sendiri jalan hidupnya.
Manusia dianggap sudah dewasa dan mampu membedakan dan memilih sendiri mana yang benar mana yang salah. Karena itu harus ada kebebasan untuk pilihan tersebut agar manusia dapat menentukan sendiri jalan hidupnya yang benar dan tidak perlu dipaksa-paksa.
Tuhan percayakan itu kepada manusia. Karena itu, sejak lebih empat belas abad lalu tidak lagi diutus Rasul lain setelah Muhammad SAW untuk mengajari manusia tentang kebenaran. Turunnya para Nabi sejak Adam As sampai Rasulullah sebagai penutup telah mencukupi ajaran tentang kebenaran yang bisa terus dipakai sampai akhir jaman. Karena Tuhan sudah percaya, maka kini terserah manusia.
Tiba-tiba saya tersentak bahwa dalam sebuah bingkai kehidupan kita, tidak hanya diisi dari sebuah bayang-bayang saja, tapi ada bayang-bayang lain. Dalam kanvas kehidupan itu kita tidak hanya melukis sebuah imajinasi tapi juga ada imajinasi lain bahkan banyak ilusi yang ikut mewarnai. Itu semua adalah pilihan-pilihan yang secara sadar ataupun tidak sadar kita tentukan sendiri—tapi tidak memfasilitasi akhir dari bentuk kanvas itu. Semuanya juga adalah imanjinasi, juga ilusi-ilusi.
Maka dalam demokrasi seluruhnya dijamin untuk berekspresi. Semuanya dapat menikmatinya karena ini adalah akses bagi siapa saja untuk melepaskan potensinya. Para mahasiswa menikmati demokrasi dengan bebas berorasi dalam mimbar demo tanpa ada tekanan, Ahmadiyah bebas berdemokrasi meski menyimpang dari ajaran Islam, bahkan kaum homoseksual bebas menonjolkan dirinya sebagai kelompok kecil yang memiliki hak hidup seperti halnya Dorce, Samuel Watimena dan lain sebagainya. Kaum kapitalis juga menikmati demokrasi dengan bebas mendistribusikan barang-barangnya hingga menjadikan rumah kita sebagai konsentrasi konsumsi.
Tapi orang lupa, dalam kebebasan yang diberikan kepada manusia, Tuhan juga menekankan untuk menggunakan akal fikiran. Dalam beberapa ayat hal ini sangat ditekankan; seperti la’allahum yatafakarũn (Q.S.59:21), la’allakum tatafakkarũn (Q.S. 2:219) dan banyak lagi. Dalam terjemahan bebasnya, kira-kira Tuhan mengatakan seperti ini; Kalian (manusia) bebas berbuat apa saja, tapi pakai otakmu...
Tapi demikianlah berlangsung demokrasi kini. Kita, umat Islam, juga umat beragama lainnya dapat menikmati kebebasan itu. Kita bebas berekspresi menjalankan ajaran agama yang kita yakini tanpa harus khawatir akan sikap otoriter yang represif dan membatasi ruang gerak umat beragama. Tapi kebebasan kita itu not for free, ada harga yang harus dibayar.
Kita bebas dan dijamin untuk menjalin ukhuwah Islamiyah, memaksimalkan dan meningkatkan level ubudiyah kita, juga kita bebas menyemai kebaikan untuk sesama. Kita bebas menciptakan surga-surga kita sendiri. Tapi para pelaku kebatilan juga memiliki kebebasan untuk melakukan kebathilan. Dalam demokrasi bukan benar-salah yang menjadi ukuran, tapi apakah sesuatu itu legal secara hukum atau tidak. Begitulah, demokrasi juga menawarkan sebuah utopia, mimpi yang sempurna.
Posting Komentar